Wednesday, January 25, 2012
PERASAAN MURNI AKAN MEMBANGKITKAN TAKSU
Perasaan yang labih murni, lebih halus dan lebih tinggi akan membangkitkan kreativitas kreativitas tinggi. Akan membangkitkan Taksu.
Di Bali budaya seni baik seni tari, musik, lukis, pahat, sastra dan sebagainya adalah alunan dan pahatan perasaan yang dipandu oleh aura Taksu Prahyangan. Taksu inilah yang menghidupi roh budaya Bali. Taksu Prahyangan yang melecutkan energy murni, halus dan kasih yang menuntun segala gerak kehidupan kepada persembahan bakthi kehadapan Hyang Widhi Wasa dengan penyerahan total.
Energy Prahyangan ini yang membimbing gerak dan langkah tarian Bali menjadi lemah gemulai, tersentak tajam, mantap dan mempesona. Setiap denyut gerak tari Bali seperti menyentak setiap atom di alam ini untuk ikut menari sehingga menarik setiap jiwa untuk ikut menari. Tarian ini sudah dari dulu mengundang decak kagum dan melelehkan setiap hati. Karena energy perasaan dalam tarian itu dibawah bimbingan aura dan taksu Prahyangan.
Jika suatu saat nanti aura Prahyangan memudar maka Taksu budaya Bali akan redup pula. Gadis gadis Bali akan menari bergoyang kekanan dan kekiri, kedepan dan kebelakang, lalu mengangkang dan telanjang. Ini adalah tarian frustasi, tarian kalah, tarian pecundang, tarian tanpa bimbingan energy, tanpa perasaan.
Ajeg Bali adalah bertujuan untuk tetap menjaga dan menjunjung ajaran dan filosofi Prahyangan dari Tri Hita Karana. Ajeg Bali bukan untuk melestarikan tarian dan pakaian adat Bali. Budaya Bali bukan harus status Quo. Kita bukan hanya pewaris sebuah kebudayaan agung dan penuh pesona tapi kita adalah penerusnya.
Ajeg Bali bukan unuk melestarikan budaya, sebab budaya Bali bukanlah satwa langka yang harus dilindungi dan dilestarikn. Budaya Bali harus kita hidupi, hidup dengan budaya Bali, kita harus meneruskan dan mengembangkan budaya Bali ke depan yang lebih inovatif lebih maju, lebih unggul dari sebelumnya, lebih berEnergy Prahyangan dan Bakthi.
Kita bukanlah penonton dan pengumpul reruntuhan sebuah puing puing kejayaan dan keemasan sebuah budaya nenek moyang. Kita adalah penerus dengan tugas beban dan tanggung jawab yang lebih besar terhadap budaya itu. Jika budaya adalah kolam maka kita adalah ikan yang hidup di dalamnya, sementara para pelancong adalah mereka yang berdiri di pinggir kolam.
Budaya Bali bukan tontonan untuk dijual, tetapi budaya itu adalah kebutuhan kita untuk kita hidupi, karena budaya itu telah terbukti eksis secara meyakinkan sejak zaman dulu dengan penerapan yang jelas dari prinsip prinsip Tri Hita Karana.
Prinsip prinsip Tri Hita Karanalah yang harus kita jalankan dan hidupi, karena ini hanya satu satunya di dunia. Ketika banyak kehidupan bangsa bangsa lain di dunia terlunta lunta mencari acuan dan cahaya terang prinsip prinsip kehidupan, maka kita sudah punya Tri Hita Karana yang telah terbukti dan teruji sepanjang masa.
Ajeg Bali bukan identik dengan berpakaian Bali, bukan menari Bali dengan patokan kaku agar tetap seperti ” Bali Mula ”, agar dapat di jual sebagai obyek pariwisata. Tindakan dan paham itu sungguh sebuah pelecehan dan perendahan terhadap nilai nilai leluhur kita. Dengan kata lain sungguh sungguh kita telah buta dan tidak mengerti kenapa leluhur leluhur kita zaman dahulu hidup dengan prinsip prinsip Tri Hita Karana.
Energy Prahyangan, Pawongan, dan Palemahanlah yang terlebih dahulu ada dan dihidupi, maka barulah sebuah Budaya yang penuh taksu mempesona akan lahir dengan sendirinya. Kelahiran budaya ini tak bisa dirancang dan diduga bagaimana bentuk dan kwalitasnya. Tetapi jika ajeg Tri Hita Karana tetap kita hidupi maka akan lahir lagi budaya budaya Bali yang jauh lebih mengagumkan bahkan diluar kemampuan kita untuk membayangkan. Dengan kata lain, bahwa jika roh Tri Hita Karana tetap hidup pada generasi penerus kita, maka Bali kedepan akan menghasilkan nilai nilai seni budaya yang jauh lebih eksotik dan mengagumkan dari budaya leluhur sebelumnya.
Sejarah telah mencatat candi Prambanan dan candi Borobudur yang telah menjadi icon dunia dan telah berhenti pada puncaknya. Setelah itu tak ada lagi candi candi yang lebih hebat dari kedua candi tersebut. Hal itu disebabkan karena roh roh dari energy yang menghidupinya telah sirna. Coba kalau tidak, maka pastilah ada lagi candi candi yang lebih hebat dari kedua candi tersebut yang dibangun oleh generasi penerusnya. Dengan kata lain kedua candi tersebut belumlah puncak budaya. Sebuah budaya mulai redup dan padam karena roh roh yang menghidupi budaya itu mulai hengkang.
Sekarang ajeg Bali sepertinya memasung gerak dan tumbuhnya sebuah budaya, memaksa budaya ini untuk berdiri dan berjalan di tempat. Akan menjadi membosankan, dan memuakkan.
Orang orang yang duduk sebagai memegang kebijakan diharapkan lebih memahami apa itu Tri Hita Karana. Jangan seperti burung beo. Bisa meniru tapi tak paham.
Aura Prahyangan akan membangkitkan energy kesucian, energy kemurnian dan kebenaran. Aura Pawongan akan membangkitkan energy kedamaian dan kebahagiaan, dan Aura Palemahan akan membangkitkan energy keindahan. Itulah Satyam, Sivam Sundaram.
Tri Hita Karana adalah perwujudan dari Styam, Sivam, Sundaram. Tri Hita Karana adalah Phylosofi of life masyarakat Bali. Adalah The Way of Life. Tri Hita Karana bukanlah tujuan, bukanlah target sasaran, tapi udara dan air dalam tubuh kita. Dia adalah Roh Bali. Tri Hita Karana adalah kehidupan yang hidup dinamis. Adalah sebuah dinamika kehidupan yang tak pernah diam dan berhenti pada tempatnya. Dia adalah napas kehidupan.
Prahyangan adalah cinta Bhakti kepada Tuhan ( Hyang Widhi). Cinta yang dalam dan murni seperti ini( deep divinety), akan banyak menstimulasi kreativitas yang didasari perasaan halus dan murni. Puncak puncak kreativitas manusia semua lahir dari energy deep divinety. Hidupkan roh Prahyangan, bangkitkan cinta bhakti kepada Hyang Widhi, maka akan lahir taksu taksu yang mengagumkan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment