Cahaya Sang Baskara masih redup di Zenith langit katulistiwa, berselimut awan kelabu desember yang sarat
dengan inti inti hujan bergelantungan.
Sekuntum bunga ungu kemerahan tersembul dari semak semak yang
dingin. Cantik sekali. Burung perkututpun sibuk menyanyikan pujiannya dari atas dahan.
Tuli sibuk memebelah belah kayu bakar, agar lebih cepat
kering kalau di jemur. Sementara Butha
berjongkok di sampingnya menghangatkan badan , karena udara desember
selalu dingin dan hujan baru saja reda
empat jam yang lalu.
Sembari mengayun ayunkan kapak Tuli
melempar beberapa pertanyaan pada Butha tentang nasib perjalanan peradaban manusia.
Tuli :” Butha ….. apakah sebenarnya yang memicu
pertarungan manusia dengan alam ?,
kenapa itu terjadi ?”
Butha :” Hmmm.....
Tuli , manusia bisa bertahan baik baik saja dalam 3 hari, cukup dengan 5 liter
air dan 3 buah ketela . Tapi manusia tak puas dengan hal itu, karena
kebodohannya sendiri sekaligus karena
kepandaiannya sendiri :”
Tuli :” ??? Maksudnya....?”
Butha :” Ya ..disatu sisi peradaban telah mengajarkan manusia
untuk mengaktifkan dan mengasah kecerdasan intlegensinya (IQ) di otak kanan, sehingga gen gen untuk hal
tersebut semakin ON. Tapi disisi lainnya seiring dengan itu gen gen kecerdasan hati (EQ) menjadi tertekan
dan atropi.
IQ akan selalu bermain hitung hitungan, untung rugi,
selalu penakut, cemas, siaga, curiga, bahkan menyerang duluan walaupun belum
tentu diserang. Kecerdasan ini selalu
mengajarkan kecemasan masa depan, selalu berpacu, tak pernah puas. Nah kecerdasan inilah yang mencidrai alam.
Kecerdasan ini mengajarkan untuk selalu
merasa tidak aman dan cendrung
menyelamatkan diri sendiri serta berorientasi kebendaan.
Rupanya kecerdasan IQ ini sedang mendominasi manusia abad ini. Mereka menganggap inilah
kebenaran. Hal hasil mereka bergerak tak
henti, ingin membangun kesejatian dirinya
lewat kecerdasan ini. Mereka
memandang alam melalui mata kecerdasan ini. Mereka mengiris iris alam dengan
sebuah mata pisau yang mereka sebut dengan istilah logika atau ilmiah. Mata hati mereka / kecerdasan emosional
mereka hampir tertutup.
Hal hasil hampir pada seluruh diri manusia dilanda rasa
tidak damai. Rasa damai adalah
perwujudan dari keseimbangan, yaitu suatu keadaan equilibrium dimana semua
potensi kecerdasan pada diri manusia berdiri sejajar dan seimbang.
Manusia adalah inti semesta (the core of nature), maka jika manusia tidak
damai maka alam tempat manusiapun tidak damai. Alam adalah sebuah cermin sejati.
Alam akan menampilkan siapa wajah anda yang sebenarnya. Alam akan
merespon balik semua data data tentang
anda tanpa ada yang hilang. Alam ini sangat elastis seperti karet. Kalau anda
memandang alam ini baik maka ia dan anda akan baik baik saja dan sebaliknya. Kalau anda memakai kaca mata
hijau maka alam ini akan tampak hijau, kalau anda memakai kaca mata merah ,
maka alam ini akan tampak merah.
Alam ini
perwujudan alam kecil dalam diri
anda. Setiap manusia memiliki alam kecilnya sendiri yang pas untuk
dirinya, yang tak sama dengan alam kecil manusia yang lain.
Alampun mensetting dirinya untuk memenuhi hal itu sehingga sesuai dengan kata
orang bijak bahwa “ seberapa jumlah manusia sebegitulah jumlah dunia”.
Jadi setiap manusia membawa dunianya sendiri yang akan
diproyeksikan pada alam. Alam akan mengantarkan anda pada manifestasi terakhir keberadaan anda. Kecerdasan emosional yang
selalu menyayangi tanpa sarat dan bahkan
selalu mengeliminasi dirinya sendiri, demi sebuah keseimbangan , sekarang
menjadi barang langka karena akibat pertumbuhan sebuah peradaban intlegensi
yang dominan. Bahkan sekarang para
sarjanapun sibuk belajar hanya untuk
mendapatkan gelar, menambah embel embel egoisitas pada namanya dan bukan
mencari kedalaman ilmu pengetahuan yang sebenarnya. Seperti kehilangan momentum
kendali untuk ingin tahu, dan bahkan di ujung pencariannya tidak tahu apa yang
dicari.
Pahlawan pahlawan
gigih seperti Thomas Alpha Edisson dan Einstein dan sebagainya sudah sangat jarang. Orang orang yang tekun
untuk menemukan sebuah rahasia ilmu
pengetahuan tanpa motivasi egoisitas. Oleh karena itu peradaban manusia saat
ini sedang dilanda sebuah epidemi
penyakit difisiensi yang disebut difisiensi kedamaian dan sudah tentu
kurang gizi kebahagiaan. Manusia akan menghabiskan masa hidupnya dalam lecutan dan deraan kecerdasan intlegensinya. Manusia lupa hidup. Di saat menjelang
kematiannya dia akan mendapatkan bahwa hidupnya selama ini adalah pelarian
hampa yang tak henti. Dia sulit
berterimakasih kepada hidup, karena sebenarnya selama ini dia tidak benar benar
hidup. Dari sudut pandang kemanusiaan hal ini sangat menyedihkan. Sebab
kemanusiaan yang bersemayam pada diri manusia
sebenarnya adalah perwujudan dari
kumpulan berbagai kecerdasan kecerdasan
yang selalu seimbang dan
harmonis. Jika tidak maka artinya
kemanusiaan pada diri manusia tidak
eksis “.
Tuli :” ...Jadi ..peradaban manusia saat ini perlu
dikasihani …?”.
Butha :” Ya.. sebuah hidup adalah hadiah dari alam untuk
dimengerti, bukan untuk dipikirkan.
Kelahiran adalah bertujuan untuk bahagia, jauh diatas tujuan dan
kepentingan untuk tahu. Pikiran adalah senjata yang bisa melukai diri manusia itu sendiri atau sesamanya atau alam.
Harus ada keseimbangan dengan kecerdasan hati dan keceradasan spirit yang
merupakan wujud utuh sebuah kemanusiaan. Sehingga peradaban yang kita jalani
sekarang ini bukanlah peradaban manusia tapi adalah sebuah peradaban
kemanusiaan. Alam tak pernah kehabisan
potensi untuk membuat manusia bahagia, cuma alam selalu menunggu tumbuhnya potensi kemanusiaan pada diri
manusia, karena hal itu satu satunya kunci yang mampu menggedor pintu alam
untuk menumpahkan segala
keberlimpahannya”.
Tuli:” ….Apakah berorientasi pada kebendaan ...merupakan
kebodohan ?”.
Butha :”...Bukan saja kebodohan, tapi sekaligus kepicikan
dan kekerdilan. Manusia telah mengkerdilkan keberadaan kesejatiannya sendiri
yaitu kemanusiaan. Kemanusiaan adalah
sebuah kecerdasan yang hampir setara dengan kecerdasan alam. Rupanya saat ini manusia sedang belajar untuk
bodoh, demi menyongsong kepunahannya seribu tahun lagi. Perang dengan alam sama
artinya menggali kuburan sendiri. Manusia ditakdirkan untuk hidup pada sebuah
kantong materi yang terdiri dari darah, daging dan tulang adalah untuk
menyadari kamahakuasaan alam dan sekaligus berbahagia dengan hal itu. Titik,
Cukup. Niat untuk melakukan eksploitasi besar besaran dan membabi buta terhadap
alam adalah bentuk lain dari niat terselubung untuk menyingkirkan kemanusiaan
itu sendiri”.
Tuli :” Ha ha … Butha .. kayaknya kamu lebih berbakat
jadi penyair dari pada ...jadi pemikir..ha ha “.
Tuli berdiri tegak
sedikit melengkungkan tubuhnya kebelakang
memegang punggungnya” aaah pegel..” katanya sambil memicingkan matanya.
“ Okey... hari sudah siang kita.. memasak sekarang”.